FENOMENA Tung Tung Sahur telah menjadi cerminan mencolok dari perubahan gaya hidup digital yang berdampak pada fungsi otak, terutama di kalangan generasi muda. Di tengah banjir informasi dan konsumsi konten yang didominasi format pendek, tren ini tak hanya menjadi simbol, melainkan juga indikator bahwa kualitas interaksi dan daya tahan kognitif mulai tergerus.
Digitalisasi dan Kecanduan Konten Pendek
Di era digital, di mana layar ponsel seringkali terpaku selama berjam-jam, fenomena seperti “Tung Tung Sahur” menunjukkan bagaimana konsumen media, khususnya anak muda lebih memilih konten instan. Konten-konten seperti video “tralalalo krokodilo tung tung sahur” telah viral dan mencerminkan kecenderungan untuk:
- Kecanduan layar: Penggunaan ponsel selama 3–4 jam atau lebih setiap hari.
- Minat terhadap informasi instan: Mengutamakan konten yang cepat dan to the point, tanpa kedalaman penjelasan.
- Reduksi interaksi sosial: Munculnya kecenderungan untuk menghindari interaksi langsung dengan dunia nyata.
Keinginan untuk mendapatkan hiburan cepat dan mudah membuat masyarakat terjebak dalam siklus konsumsi konten yang kurang menantang otak, sehingga pada akhirnya fungsi kognitif berisiko menurun.
Peran Media Sosial dan Algoritma
Platform seperti TikTok telah mahir membaca psikologi pengguna dengan menghadirkan video singkat yang adiktif. Algoritma di balik platform-platform ini menyuguhkan informasi yang berulang dan terus-menerus, sehingga otak dibiasakan dengan stimulasi visual instan. Dampaknya, meski konten semacam “Tung Tung Sahur” dan video-tren lainnya mendapatkan popularitas, mereka juga berkontribusi pada gangguan fokus dan penurunan kemampuan berpikir mendalam.
Dampak pada Generasi Muda
Generasi Z dan Alpha, yang tumbuh dalam lingkungan digital, semakin terekspos dengan format konten yang serba cepat ini. Ironisnya, apa yang awalnya dimaksudkan sebagai hiburan ringan justru menjadi indikator “brain roots” atau pembusukan otak. Karakteristik seperti:
- Impulsif dan emosional: Respon cepat tanpa pertimbangan mendalam.
- Menarik diri dari interaksi sosial: Lebih memilih berkomunikasi secara digital daripada tatap muka.
- Kesulitan memahami informasi mendalam: Hanya menginginkan informasi pendek yang mudah terlupa.
Semua ini menunjukkan bahwa fenomena Tung Tung Sahur bukan sekadar tren viral, melainkan pertanda adanya pergeseran serius dalam cara otak kita beradaptasi dengan era digital.
Seruan untuk Kesadaran dan Perubahan
Guru Gembul, yang menyuarakan peringatan ini dalam video berjudul “Bahaya Tung Tung Sahur Jangan Tinggalkan Anak Nonton Sendirian”, menekankan bahwa masyarakat—terutama orang tua dan pendidik—perlu segera menyadari dan mengendalikan penggunaan gawai. Ia mengajak semua pihak untuk mulai kembali pada aktivitas yang lebih menyehatkan otak, seperti:
- Membaca dan berdiskusi: Menumbuhkan kemampuan berpikir analitis dan mendalam.
- Berinteraksi secara langsung: Menjaga kualitas hubungan sosial dan mengurangi ketergantungan pada dunia digital.
- Mengatur waktu layar: Menetapkan batasan penggunaan gadget agar otak tidak kelebihan muatan informasi.
Fenomena Tung Tung Sahur pada dasarnya adalah refleksi dari bagaimana digitalisasi telah mengubah cara kita menerima dan memproses informasi. Menyadari bahayanya adalah langkah awal untuk melindungi fungsi otak dan memastikan bahwa generasi mendatang tidak kehilangan kemampuan kognitif yang esensial demi kenyamanan sesaat. (*)