KUALA LUMPUR, iNews.id - Pengadilan Malaysia pada Rabu (27/11/2024) membebaskan mantan Perdana Menteri Malaysia Najib Razak dari enam dakwaan korupsi dana 1MDB. Hakim memberikan Najib status discharge not amounting to an acquittal (DNAA) lantaran Jaksa Penuntut Umum gagal memberikan dokumen yang relevan kepada tim pembela meski kasus sudah berjalan 6 tahun.
Najib, bersama bendahara 1MDB Mohd Irwan Serigar Abdullah, didakwa dengan enam tuduhan melanggar kepercayaan melibatkan dana 6,6 miliar ringgit atau sekitar Rp23,6 triliun (kurs saat ini) yang dibayarkan kepada perusahaan investasi minyak internasional Uni Emirat Arab.
Baca Juga
Kronologi 7 WNI Tewas Kecelakaan di Sarawak Malaysia, Berawal dari Sopir yang Kabur saat Disetop Polisi
Enam kasus tersebut hanya sebagian dari puluhan dakwaan skandal dana 1MDB yang diajukan jaksa penuntut terhadap Najib.
Hakim Muhammad Jamil Hussin menjelaskan, kasus ini tertunda sangat lama karena kegagalan jaksa penuntut daam memberikan dokumen penting tersebut.
Baca Juga
7 WNI Tewas dalam Kecelakaan Mengerikan di Sarawak Malaysia
Panel hakim, lanjut dia, terpaksa memutuskan DNAA karena jaksa penuntut melanggar Pasal 51A Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang mengamanatkan mereka memberikan dokumen tertentu kepada pihak terdakwa sebelum persidangan dimulai.
Hanya saja Jamil menegaskan DNAA bukan berarti kasus yang melibatkan Najib dibatalkan sepenuhnya. Penuntutan akan dibuka kembali jika jaksa mengajukan kembali.
Baca Juga
Polisi Gagalkan Penyelundupan 207 Kg Sabu dan 90 Ribu Ekstasi dari Malaysia
“Perintah DNAA tidak merugikan penuntutan kasus. Jaksa penuntut masih bisa mengajukan tuntutan ulang,” kata Jamil, seperti dikutip dari The Straits Times, Kamis (28/11/2024).
Kasus ini memicu kecaman keras dari para pakar hukum terhadap jaksa penuntut umum yang menangani skandal megakorupsi menghebohkan Malaysia, bahkan dunia ini.
Pakar dari Vriens & Partners Halmie Azrie Abdul Halim mengatakan, ketidakmampuan jaksa untuk menyediakan dokumen yang diperlukan mencerminkan buruknya kinerja Kejaksaan Agung (AGC).
“Enam tahun lebih dari cukup untuk meneyrahkan dokumen yang sesuai. Jika mereka tidak dapat menyerahkan dokumen tersebut, dengan alasan Undang-Undang Rahasia (OSA), maka jaksa penuntut seharusnya mencabut kasus tersebut. Sekarang jaksa harus mengajukan tuntutan ulang, jika AGC masih mau melakukannya,” katanya.
Sebelumnya Wakil Jaksa Penuntut Umum Muhammad Saifuddin Hashim Musaimi menjelaskan kepada pengadilan, ada sekitar 40 dokumen yang belum dideklasifikasi (dinyatakan bukan rahasia lagi) berdasarkan OSA. Jaksa penuntut tidak punya wewenang untuk mendeklasifikasinya.
Kritikan keras kemudian disampaikan Jerald Joseph, direktur organisasi HAM Pusat Komas. Dia mengatakan OSA tak bisa dijadikan alasan karena seharusnya masalah ini bisa diantisipasi sejak lama.
"Meskipun jaksa penuntut memiliki alasan gagal menyerahkan dokumen penting kepada pembela sesuai waktunya, publik berhak tahu alasannya," ujarnya.