Yunaldi Libra
Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi
UPN Veteran Jakarta
SOLUSI mengirim siswa nakal mengikuti pendidikan militer yang dilakukan oleh Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, menuai pro dan kontra. Program ini diyakini bisa menanamkan disiplin dan membangun rasa tanggung jawab, karena akan dilakukan di lingkungan yang memiliki disiplin ketat. Namun, sebagian pihak justru menganggap program ini hanya akan bersifat represif dan menghadirkan trauma bagi siswa karena akan menghadapi tekanan fisik dan suasana keras di lingkungan militer.

Baca Juga
Putin Tunjukkan Apartemen Mewah untuk Pertama Kalinya, Ada Gereja Pribadi Berlapis Emas
Salah satu solusi yang bisa menjadi contoh dalam membentuk karakter siswa sekolah bisa kita lihat dalam program Junior Reserve Officers Training Corps (JROTC) di Amerika Serikat (AS). Program pendidikan yang dilakukan di sekolah menengah atas negeri Paman Sam ini bertujuan membentuk warga negara yang baik dengan jalan pendidikan karakter, kedisiplinan, kepemimpinan, dan keterampilan kewarganegaraan.
Meski program ini merupakan program kerja sama dengan Departemen Pertahanan AS, JROTC bukanlah program rekrutmen anggota militer. Program ini hanya program pembinaan yang bersifat sukarela. Program yang pertama kali dimulai tahun 1916 ini memiliki perkembangan yang cukup pesat. Sampai saat ini terdapat lebih dari 3.000 sekolah menengah di AS, termasuk wilayah teritori Puerto Rico dan Guam yang menjalankan program ini. Sekitar 1.700 sekolah di bawah binaan US Army Cadet Command, sekitar 600 sekolah di bawah binaan US Navy JROTC, sekitar 870 sekolah di bawah binaan Air Force JROTC, dan sekitar 275 sekolah di bawah binaan Marine Corps JROTC.

Baca Juga
Dedi Mulyadi Mulai Kirim Pelajar Bermasalah ke Barak Militer
JROTC pertama kali dimulai pada tahun 1916 melalui Undang-Undang National Defense Act dan hingga hari ini tetap eksis karena mendapat dukungan dari berbagai kalangan, baik militer, sekolah, maupun masyarakat sipil. Program ini dikelola oleh semua cabang angkatan bersenjata AS (Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, Korps Marinir, dan Penjaga Pantai), masing-masing dengan kurikulum yang sedikit berbeda tapi tetap berfokus pada pendidikan kepemimpinan, disiplin, kebangsaan, pelayanan masyarakat, dan pembentukan karakter.
JROTC memiliki kurikulum yang menyesuaikan dengan tempat pembinaannya. Namun, kurikulum tetap fokus kepada pelajaran kepemimpinan, pendidikan kewarganegaraan, pendidikan karakter dan etika, serta latihan fisik dan baris-berbaris. Selain itu juga ada kegiatan ekstrakurikuler seperti lomba drill, menembak senapan angin, dan pengabdian masyarakat.

Baca Juga
69 Siswa Bermasalah Dibina di Barak TNI, Ini Kata Dedi Mulyadi Ditanya Payung Hukumnya
Mengapa JROTC Bisa Jadi Solusi bagi Siswa Nakal di Indonesia?
JROTC bisa menjadi model inspiratif bagi pendidikan di Indonesia, khususnya untuk siswa nakal atau bermasalah karena, yang pertama, program ini fokus pada pembinaan karakter jangka panjang, bukan pada hukuman. Anak diajak berproses, bukan dipaksa berubah dalam waktu singkat. Yang kedua, program ini mengajarkan disiplin dengan pendekatan positif melalui kegiatan baris-berbaris, olahraga, dan kerja sama tim. Dan yang ketiga, program ini membangun keterampilan sosial dan kepemimpinan. Sehingga siswa yang memiliki kesulitan mengelola emosi, berkomunikasi, dan bekerja sama, bisa dilatih menjadi pemimpin kecil di lingkungannya, mulai dari memimpin kelompok kecil hingga organisasi sekolah.
Model inspiratif JROTC untuk menjadi solusi siswa bermasalah di Indonesia juga didukung oleh teori komunikasi. Ada setidaknya 3 teori komunikasi yang mendukung program ini. Yang pertama adalah Teori Komunikasi Interpersonal. Teori ini menekankan pentingnya interaksi antar individu dalam membentuk perilaku. Perubahan perilaku siswa akan terjadi pada saat interaksi antara instruktur JROTC yang biasanya dari veteran militer. Melalui bimbingan dan pelatihan, instruktur akan membantu siswa merefleksikan kesalahan, belajar memperbaiki diri, dan mengembangkan keterampilan komunikasi.

Baca Juga
Pramono Ogah Tiru Dedi Mulyadi Kirim Pelajar Nakal ke Barak Militer
Yang kedua adalah Teori Pembelajaran Sosial. Menurut teori yang dikembangkan oleh Albert Bandura ini, individu belajar melalui pengamatan dan peniruan. Siswa JROTC belajar dari teladan instruktur dan teman-temannya. Ketika mereka melihat bahwa disiplin dan kerja keras dihargai, mereka cenderung meniru perilaku tersebut. Yang ketiga adalah Teori Spiral of Silence. Dalam kerangka teori yang dikembangkan oleh Elisabeth Noelle-Neumann ini, siswa nakal sering merasa terpinggirkan di lingkungan sekolah. Dalam kerangka spiral of silence, suara mereka perlahan “membisu” karena takut tidak diterima. Program JROTC menawarkan ruang inklusif di mana semua siswa, termasuk yang bermasalah, bisa bersuara, berpartisipasi, dan merasa diakui.
Untuk penerapan program JROTC di Indonesia memang butuh penyesuaian. Yang pertama adalah dengan mengurangi unsur militer formal. Program harus tetap menekankan pendidikan karakter, bukan untuk persiapan perang atau wajib militer. Yang kedua adalah dengan melibatkan pihak sekolah dan keluarga, karena keberhasilan pembinaan anak memerlukan kerja sama sekolah, guru, orang tua, dan lingkungan sekitar. Dan yang terakhir adalah perlu pelatihan khusus untuk instruktur yang berlatar belakang militer. Instruktur harus dilatih juga dalam psikologi pendidikan, komunikasi, dan manajemen konflik.

Baca Juga
Siswa Nakal Mulai Dikirim ke Barak TNI, Dedi Mulyadi Pantau Langsung
Junior ROTC telah membuktikan mampu membentuk remaja menjadi pribadi yang lebih baik, termasuk mereka yang sebelumnya bermasalah. Program ini bisa diadopsi oleh Indonesia, meski butuh penyesuaian dengan nilai-nilai budaya lokal. Kenakalan remaja menjadi tantangan besar bagi dunia pendidikan saat ini. Untuk itu, generasi muda Indonesia lebih memerlukan pembinaan karakter yang lebih manusiawi, positif, dan berkelanjutan daripada pendekatan hukuman.
Editor: Rizky Agustian