Rembang, infojateng.id – Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Rembang memastikan seluruh layanan penanganan HIV/AIDS berjalan optimal.
Mulai dari pemeriksaan viral load (parameter penting untuk menilai efektivitas terapi ARV), ketersediaan obat antiretroviral (ARV), hingga layanan konseling.
Hal itu disampaikan Epidemiolog Kesehatan Muda Dinkes Kabupaten Rembang, Martha Gusmanthika, saat ditemui di ruang kerjanya, Selasa (2/12/2025).
Menurutnya, pemeriksaan viral load dan kepatuhan minum ARV menjadi kunci utama untuk menekan penularan HIV/AIDS.
Disampaikan, di Rembang, pemeriksaan viral load tersedia di dua fasilitas kesehatan, yakni RSUD dr R Soetrasno dan Puskesmas Kragan 2.
Martha membeberkan, pemeriksaan viral load dilakukan pada enam bulan setelah pasien memulai ARV, kemudian pada bulan ke-12, dan selanjutnya setahun sekali bagi ODHIV (Orang dengan HIV) yang sudah lama menjalani terapi.
“Kalau pasien patuh minum ARV dengan adhesi di atas 90 persen, virusnya biasanya tersupresi. Jika viral load di bawah 40 kopi per mililiter, mesin tidak akan mendeteksi. Itu artinya tidak menularkan,” jelas Martha.
Dia menegaskan, keberlanjutan pengobatan menjadi aspek yang sangat krusial dalam penanganan HIV.
Diungkapkan, tanpa terapi ARV yang teratur, risiko infeksi oportunistik dan penurunan kondisi kesehatan pasien dapat meningkat secara drastis.
“Untuk obat ARV, alhamdulillah tersedia semua di Rembang,” ucapnya.
Selain itu, pihaknya juga memperkuat layanan konseling bagi ODHIV maupun kelompok masyarakat berisiko. Setiap Puskesmas dan rumah sakit telah memiliki tenaga konselor, yang terdiri dari dokter, bidan, dan perawat.
Layanan konseling tidak hanya diberikan saat pemeriksaan, tetapi juga melalui edukasi di sekolah, kegiatan posyandu, serta penguatan informasi di tingkat masyarakat.
“Untuk konseling ini, kita memiliki konselor di setiap Puskesmas, termasuk di rumah sakit. Selain itu kami juga konseling di sekolah, dan di masyarakat melalui kegiatan posyandu,” terangnya.
Di sisi lain, Martha menilai, stigma terhadap HIV/AIDS di masyarakat kini mulai menurun, meski masih membutuhkan upaya edukasi berkelanjutan.
Menurutnya, keterbukaan masyarakat dalam mencari informasi dan keberadaan tenaga kesehatan yang aktif memberikan penyuluhan, memberikan dampak signifikan terhadap perubahan sikap publik.
“Tantangan dari dulu hingga sekarang itu stigma HIV masih kental di masyarakat. Tapi, semakin ke sini dengan edukasi dari tenaga kesehatan, stigma itu sudah mulai menurun,” ujarnya.
Martha mengingatkan, ODHIV tetap memiliki hak hidup dan kesempatan yang sama dengan masyarakat lain.
Mereka berhak bekerja, mendapatkan layanan kesehatan, serta menjalani kehidupan yang produktif seperti masyarakat pada umumnya.
“Mereka juga berhak untuk hidup, bekerja, dan melanjutkan kehidupan. Penderitanya sebenarnya sama seperti penderita Hepatitis B, sama-sama minum obat dan bisa menular. Hanya stigma itu masih ada, namun sekarang sudah jauh lebih baik daripada 10 tahun lalu,” tandasnya. (eko/redaksi)

2 days ago
10

















































