WASHINGTON, iNews.id - Dewan Perwakilan Rakyat Amerika Serikat (DPR AS) batal menggelar voting untuk mengesahkan rancangan undang-undang (RUU) kontroversial yang sedianya digelar pada Senin (5/5/2025). RUU itu mengatur hukuman bagi warga AS yang ikut serta memboikot Israel.
Rancangan bernama HR 867 Undang-Undang Antiboikot IGO itu merupakan perluasan dari UU antiboikot yang telah ada sebelumnya. Aturan baru ini memasukkan semua aktivitas pemboikotan yang didorong oleh organisasi pemerintahan internasional (IGO), termasuk PBB.

Baca Juga
Profil Paus Leo XIV, Penerus Paus Fransiskus dari Amerika Serikat
DPR sedianya menggelar voting RUU tersebut pekan ini, namun jadwalnya menghilang daari daftar.
“Saya telah diberi tahu bahwa kita tidak akan lagi voting untuk ini. RUU tersebut telah dicabut,” kata seorang anggota DPR, Marjorie Taylor Greene, di media sosial X.

Baca Juga
Aksi Boikot Produk Terafiliasi Israel
Anggota DPR AS lainnya, Thomas Massie, juga mengonfirmasi RUU tersebut telah dicabut.
HR 867 diajukan oleh Mike Lawler, politikus Partai Republik dari daerah pemilihan New York yang juga didukung politikus Partai Demokrat, Josh Gottheimer.

Baca Juga
Seruan Boikot Produk Israel, Dorong Muslim Indonesia Beralih ke Produk Lokal
Beberapa Kelompok Muslim maupun organisasi hak asasi manusia (HAM) menentang RUU tersebut karena melanggar hak mendasar, yakni kebebasan berkekspresi.
Dewan Hubungan Islam-Amerika (CAIR) mengecam RUU tersebut karena mengancam hak kebebasan berbicara. Selain itu RUU tersebut seharusnya batal demi hukum karena bertentangan dengan konstitusi AS, Amandemen Pertama.
"Berdasarkan undang-undang ini, individu, bisnis, atau organisasi advokasi Amerika bisa menghadapi hukuman perdata, denda pidana hingga 1 juta dolar, bahkan hukuman penjara hingga 20 tahun karena mendukung seruan yang didukung internasional untuk memboikot Israel atau perusahaan yang terlibat dalam pelanggaran HAM," bunyi pernyataan CAIR.
Hak untuk memboikot, lanjut CAIR, merupakan bagian intrinsik dari Amandemen Pertama serta landasan demokrasi AS, mulai dari menentang penjajahan Inggris hingga mendukung hak-hak sipil serta menentang apartheid di Afrika Selatan.
"Hak itu tidak boleh dilanggar," demikian isi pernyataan.