Perempuan: Melawan Stereotip dan Narasi yang Belum Usai

4 hours ago 2

Febi Ramadhani Rusdin
Dosen Sains Komunikasi MNC University

PERINGATAN Hari Perempuan Internasional (International Women’s Day) menjadi momen penting untuk membuka kembali jendela sejarah serta memandang dunia saat ini yang mungkin masih menyimpan kecemasan. Merenungkan sekaligus merayakan kemajuan-kemajuan kecil dari narasi panjang perjuangan perempuan tentang kesetaraan, perlawanan pada stereotip dan konstruksi sosial, serta kekerasan yang masih marak di lingkungan masyarakat.

Sejarah perjuangan perempuan adalah sejarah panjang nan berliku. Kita perlu menengok kembali ke belakang sekitar abad ke-17, melalui bukunya berjudul “A Vindication of The Right of Woman” (1792), Mary Wollstonecraft secara gigih menarasikan perlawanan pada tirani yang mengakar di Perancis. Tekadnya menyuarakan pada pemenuhan hak perempuan dalam ruang pendidikan dan hak bekerja.

Saya tertarik pada sebuah kalimat yang ia tulis dan dedikasikan kepada M. Talleyrand-Perigord di awal bukunya, Mary menulis, “Independence I have long considered as the grand blessing of life, the basis of every virtue and Independence I will ever secure by contracting my wants, though I were to live on a barren heath." Sebuah ungkapan yang menekan emosi paling melankolis bagaimana ia ingin memperjuangkan kemerdekaan dan kebebasan perempuan meskipun harus hidup di padang yang tandus.

Atau pada abad ke-19, Emmeline Pankhurst, perempuan Inggris yang menginisiasi terbentuknya Women’s Social and Political Union (WSPU), sebuah gerakan yang memperjuangkan hak pilih perempuan dan mencoba mendobrak kuatnya dominasi patriarki yang diciptakan kapitalisme dan negara. Gerakan itulah yang selama ini dikenal dengan Suffragette.

Di Indonesia, kita mengenal seorang Kartini yang menginspirasi melalui pucuk-pucuk suratnya. Ia mencoba menentang tradisi yang membatasi gerak perempuan. Ia percaya pendidikan adalah kunci untuk membebaskan perempuan dari keterbelakangan. Ia adalah cahaya yang menyingkap tabir kegelapan, seperti goresan pemikirannya yang dibukukan oleh sahabatnya Abendanon dalam “Habis Gelap Terbitlah Terang”.

Pertanyaannya, apakah tongkat estafet perjuangan itu telah sampai di garis akhir atau masih teredam dalam kebisingan sebuah perayaan? Apakah mimpi-mimpi tentang kesetaraan telah menjadi bagian dari kesadaran kolektif kita, ataukah masih menjadi wacana yang terus dipelihara dan dipoles dalam bentuk yang lebih modern?

Tubuh sebagai Medan Pertarungan

Dalam mitologi Yunani, tubuh perempuan adalah kutukan sekaligus anugerah. Kisah Pandora, perempuan pertama, membawa kotak yang berisi segala malapetaka ke dunia. Tapi dia juga membawa harapan. Dari kisah-kisah kuno, perempuan sering digambarkan sebagai makhluk yang ambigu: suci sekaligus terkutuk, lembut sekaligus berbahaya. Ini adalah paradoks yang terus menghantui kita hingga hari ini. 

Tubuh perempuan, dalam banyak kebudayaan, dilihat sebagai sesuatu yang harus dikendalikan, dijaga, atau bahkan disembunyikan. Ia menjadi simbol kesucian yang harus dilindungi, tetapi juga sumber godaan yang harus ditaklukkan.

Di Indonesia, tubuh perempuan adalah medan pertarungan yang kompleks. Di satu sisi, ia dirayakan dalam seni dan budaya. Di sisi lain, ia dibelenggu oleh norma-norma sosial yang seringkali tidak adil. Perempuan diharapkan menjadi istri yang setia, ibu yang penyayang, dan anak yang patuh. Tubuhnya harus memenuhi standar kecantikan yang tidak realistis, sementara pada saat yang sama, ia harus menundukkan diri pada aturan-aturan agama dan adat yang ketat.

Pertarungan atas tubuh perempuan juga terlihat pada ranah kebijakan publik. Aturan-aturan tentang pakaian, seperti larangan memakai celana pendek atau kewajiban berjilbab di beberapa daerah, adalah contoh bagaimana tubuh perempuan diatur oleh kekuasaan. Ini bukan sekadar soal pakaian, tetapi tentang siapa yang berhak menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh perempuan. Tubuh perempuan, dalam hal ini, menjadi simbol dari pertarungan antara modernitas dan tradisi, antara kebebasan individu dan kontrol sosial.

Tapi pertarungan yang paling menyakitkan seringkali terjadi di ruang privat. Kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan seksual, dan pemerkosaan adalah bentuk-bentuk penindasan yang paling nyata atas tubuh perempuan. Dalam kasus-kasus ini, tubuh perempuan bukan hanya medan pertarungan, tetapi juga korban. Ia menjadi sasaran kemarahan, kekerasan, dan dominasi. Dan yang paling tragis, seringkali perempuan sendiri yang disalahkan. Istilah, "Kenapa menggunakan baju seksi?" atau "Kenapa pulang malam?", mengungkapkan betapa tubuh perempuan selalu dilihat sebagai penyebab masalah, bukan korban.

Kita bisa melihat hasil sinkronisasi data kekerasan perempuan melibatkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Komnas Perempuan, dan Forum Pengadaan Layanan (FPL), yakni sebanyak 34.682 kasus tindak kekerasan terhadap perempuan yang terjadi sepanjang tahun 2024 (sumber: Kementerian PPPA). Sebuah fenomena gunung es yang belum menemukan solusinya. Tentu kita berharap bahwa segelintir kasus tersebut mampu membuka mata kita dalam penyusunan kebijakan yang lebih inklusif serta mendorong perubahan perilaku masyarakat.

Pada perspektif lain, tubuh perempuan juga bisa menjadi sumber kekuatan. Dalam gerakan-gerakan feminis, tubuh perempuan adalah simbol perlawanan. Ketika perempuan memilih untuk tidak menikah, tidak memiliki anak, atau mengejar karier, mereka sedang merebut kembali tubuh mereka dari cengkeraman norma-norma sosial. Ketika perempuan berdiri bersama melawan kekerasan seksual, mereka mengubah tubuh mereka dari medan pertarungan menjadi medan perlawanan. Tubuh perempuan, dalam konteks ini, bukan lagi objek yang pasif, tetapi subjek yang aktif.

Read Entire Article
Kabar Jateng | InewS | | |