Achmad Nur Hidayat
Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta

Baca Juga
Pejabat Arab Saudi dan Oman Usulkan Fasilitas Nuklir untuk Iran di Pulau Teluk
APAKAH wajar, di tengah ketimpangan sosial dan tekanan fiskal yang dihadapi negara, pemerintah menetapkan biaya konsumsi rapat sebesar Rp171.000 per orang untuk pejabat negara?
Apakah ini bentuk efisiensi seperti yang diklaim Kementerian Keuangan, atau justru representasi dari mentalitas elitis yang belum sepenuhnya bersih dari budaya boros birokrasi?

Baca Juga
Bagai Langit dan Bumi! Uang Makan Pejabat Rp118.000, MBG Cuma Dapat Rp10.000
Pertanyaan ini mengemuka pascaterbitnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 32 Tahun 2025 yang mengatur Standar Biaya Masukan (SBM) Tahun Anggaran 2026.
Dalam aturan tersebut, disebutkan bahwa konsumsi rapat untuk pejabat setingkat menteri, wakil menteri, dan eselon I maksimal ditetapkan sebesar Rp171.000 per orang. Nilai itu terbagi atas Rp118.000 untuk makan dan Rp53.000 untuk kudapan.

Baca Juga
Sri Mulyani Patok Jatah Uang Makan Pejabat Rp118.000, Snack Rp53.000
Angka ini memantik reaksi publik di tengah situasi ekonomi yang masih pincang akibat dampak pandemi, inflasi pangan, serta ketidakpastian fiskal jangka menengah.
Birokrasi dan Rasa Lapar Sosial
Baca Juga
Sri Mulyani Gerak Cepat, Efisiensi Anggaran 2026 Diatur Ketat dari Sekarang
Jika kita bayangkan sebuah meja rapat berpendingin udara di kementerian, di mana para pejabat duduk mengelilinginya sambil menikmati makanan dan kudapan senilai Rp171.000, kita harus bertanya: berapa anak miskin yang bisa diberi makan bergizi dengan jumlah uang yang sama?
Di sisi lain negeri ini, banyak keluarga marginal harus memilih antara membeli beras atau membayar uang sekolah anaknya. Di banyak pelosok, gizi buruk masih menjadi fakta.
Di ruang-ruang sempit yang dipenuhi suara-suara harapan, uang Rp171.000 bukanlah biaya makan, melainkan biaya hidup selama beberapa hari.
Analoginya sederhana: negara adalah rumah tangga besar.
Jika sang kepala keluarga-dalam hal ini birokrasi-mengalokasikan dana lebih untuk kenyamanannya sendiri, sementara sebagian anak di rumah itu masih kelaparan, maka ada sesuatu yang keliru dalam prioritas pengelolaan rumah tangga tersebut.
Standar Biaya atau Standar Keadilan?
Pemerintah berdalih bahwa angka tersebut hanyalah batas maksimal.
Namun dalam praktiknya, standar biaya acap kali berubah menjadi standar pengeluaran. Batas atas sering kali ditafsirkan sebagai target belanja, bukan rambu pengaman.
Ini bukan hanya soal nominal, tapi soal paradigma pengelolaan keuangan publik.
Dalam konstruksi sosial, kebijakan ini menghadirkan kesan bahwa efisiensi negara hanya berlaku kepada masyarakat, sementara kenyamanan elite birokrasi masih dipertahankan dengan justifikasi "standar".
Padahal, esensi dari pelayanan publik adalah keadilan dalam pengorbanan dan proporsionalitas dalam hak.
Ketika rakyat diminta bersabar, hidup hemat, dan menahan konsumsi, bukankah wajar jika mereka berharap pengorbanan serupa datang dari para pengambil kebijakan?