JAKARTA, iNews.id - Penyakit Hemofilia belum banyak terdeteksi di Indonesia. Masalah ini membuat pasien Hemofilia kerap kali ditemukan sudah dalam kondisi yang parah.
Menurut World Federation of Hemophilia, diperkirakan 1 dari 10.000 orang di dunia mengalami Hemofilia. Namun, prevalensi di Indonesia masih tergolong rendah, karena banyak kasus yang belum terdeteksi.

Baca Juga
Sejarah Sabtu Suci, Hari Berkabung Jelang Bangkitnya Yesus Kristus
Data Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia (HMHI) tahun 2024 menunjukkan, baru sekitar 11 persen pasien Hemofilia berhasil teridentifikasi di Indonesia, atau sebanyak 3.658. Jumlah ini masih jauh dari perkiraan yang seharusnya sejumlah 28.000 pasien.
Hal ini pun diungkap Dokter Spesialis Anak dr Novie Amelia Chozie, SpA(K) yang juga Ketua HMHI. "Banyak kasus yang baru terdeteksi setelah pasien mengalami perdarahan berat, yang meningkatkan risiko komplikasi serius seperti disabilitas dan kematian," kata dr Novie dalam keterangan resminya, Minggu (20/4/2025).

Baca Juga
Bukan Kolesterol, 2 Penyakit Setelah Lebaran Ini Harus Diwaspadai
Dokter Novie menerangkan, saat ini hanya sekitar 11 persen dari perkiraan total pasien Hemofilia di Indonesia yang telah terdiagnosis. Hal ini menunjukkan masih banyak kasus yang belum terdeteksi.
Bicara soal komplikasi serius yang bisa terjadi karena keterlambatan diagnosis, dr Novie mengatakan, adalah terbentuknya inhibitor atau antibodi yang menghambat efektivitas terapi faktor pembekuan darah.

Baca Juga
Apakah Pria dengan Penyakit Azoospermia Masih Bisa Punya Anak? Ini Jawabannya
Penelitian yang dilakukan oleh Unit Kerja Koordinasi Hematologi-Onkologi Ikatan Dokter Anak Indonesia pada 2022 menemukan bahwa prevalensi inhibitor faktor VIII pada anak-anak dengan Hemofilia A di 12 kota besar di Indonesia mencapai 9,6 persen.
Selain masalah deteksi dini yang masih sangat minim, pasien Hemofilia juga menghadapi tantangan di akses pengobatan yang belum merata.

Baca Juga
Waspada, Anemia Jadi Komplikasi Paling Umum Penyakit Ginjal Kronis
"Fasilitas diagnosis dan pengobatan umumnya itu terkonsentrasi di kota-kota besar, sementara pasien di daerah terpencil masih harus menghadapi keterbatasan layanan medis, baik dari segi infrastruktur, ketersediaan obat faktor pembekuan, hingga tenaga medis yang paham tentang gangguan perdarahan," papar dr Novie.
"Oleh karenanya, penting bagi kita untuk mengadvokasi hal ini demi meningkatkan diagnosis dan tatalaksana Hemofilia, serta penyakit perdarahan lainnya di Indonesia," tambahnya.
Banyak Pasien Hemofilia Meninggal Dunia akibat Terlambat Didiagnosis
Masalah akses yang belum merata ini dilihat langsung oleh seorang pasien Hemofilia berinisial HK. Dia bercerita, selama menjadi pasien Hemofilia lebih dari 34 tahun, HK melihat sendiri banyak bayi dan anak-anak dengan penyakit ini yang mengalami perdarahan berisiko akibat deteksi dan penanganan yang masih minim di Indonesia.
"Beberapa pasien bahkan meninggal dunia karena deteksi dan penanganan yang belum merata. Tentu ini sangat memilukan. Karenanya, kami berharap lebih banyak kampanye edukasi Hemofilia," kata HK.
"Kami berharap obat konsentrat faktor pembekuan darah dapat terus ditanggung oleh BPJS, mengingat obat ini terbukti efektif menyembuhkan dan menghindarkan pasien Hemofilia dari risiko infeksi melalui darah seperti Hepatitis dan lainnya," tambahnya.
Lebih lanjut, Shinta Caroline selaku Head of Oncology and Rare Disease Business Unit PT Takeda Indonesia mengatakan, pihaknya berkomitmen untuk menjadi mitra jangka panjang dalam meningkatkan layanan kesehatan.
"Bersama HMHI dan para tenaga medis, kami ingin meningkatkan kesadaran masyarakat agar penyakit ini bisa dikenali lebih awal, didiagnosis dengan tepat, dan pasien bisa mendapat pengobatan yang sesuai, sehingga perdarahan dapat ditangani dengan baik dan bisa dicegah keparahannya," ungkap Shinta Caroline.