JAKARTA, iNews.id - Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin menanggapi rencana kenaikan tarif BPJS Kesehatan yang dianggap perlu dilakukan untuk menjaga keberlanjutan sistem jaminan kesehatan. Apalagi, iuran BPJS Kesehatan terakhir naik pada 2020.
Budi menegaskan, BPJS Kesehatan perlu menyesuaikan tarif setelah lima tahun tidak ada kenaikan iuran, terutama dengan adanya inflasi kesehatan yang mencapai 10 hingga 15 persen per tahun.
Baca Juga
Dewas BPJS Kesehatan Bicara Potensi Defisit, Ini Penyebabnya
“Tapi kalau kita perhatikan tarif BPJS itu naik terakhir tahun 2020, sekarang sudah tahun 2025. Kita harus ngomong gitu kan (kenaikan iuran). Kalau nggak kita nanti di ujung-ujung meledak, kaget, malah bahaya. Maka kita bicara jujur bahwa dengan inflasi kesehatan 10 sampai 15 persen per tahun, sedangkan tarif BPJS yang nggak naik 5 tahun itu kan nggak mungkin gitu, jadi harus naik,” ucap Budi dalam Rapat Kerja bersama Komisi IX DPR, Selasa (11/2/2025).
Dia menyebut tidak mungkin mempertahankan tarif BPJS yang stagnan dalam lima tahun terakhir, sementara biaya kesehatan terus meningkat. Namun, dia menekankan bahwa kenaikan iuran ini harus dilakukan dengan hati-hati dan adil, agar tidak memberatkan golongan masyarakat miskin. Dalam hal ini, penerima Bantuan Iuran (PBI) yang miskin akan tetap dijamin 100 persen oleh pemerintah.
Baca Juga
Bocoran Menkes: Iuran BPJS Kesehatan Rencananya Naik di 2026
“Nah, kalau naik sekarang kita mesti adil. Gimana caranya yang miskin jangan kena dong itu tugasnya kita kan, itu sebabnya yang miskin tetap akan di-cover 100 persen skenario kita oleh PBI. Yang akan naik artinya bebannya pemerintah dan pemerintah enggak apa-apa secara konstitusi kan tugas kita memberikan layanan kesehatan,” ucapnya.
Budi juga menyoroti pentingnya keakuratan data penerima bantuan. Dia mencontohkan kasus yang pernah terjadi pada Harvey Moeis, pengusaha yang kini terjerat korupsi kasus Timah justru menjadi peserta program BPJS Kesehatan Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) Pemerintah Daerah.