Siswi SMKN 1 Blora Ziarah ke Makam RA Kartini, Wujud Penghormatan Pahlawan Nasional

1 month ago 22

Blora, Infojateng.id – ‎Sejumlah siswi SMKN 1 Blora jurusan Desain Komunikasi Visual (DKV) yang melaksanakan Praktik Kerja Lapangan (PKL) di Dinas Kominfo Blora beziarah ke makam Pahlawan Nasional RA Kartini di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, Jumat (11/4/2025).

Ziarah ini dilakukan untuk mengenang jasa pahlawan nasional yang berjuang untuk emansipasi wanita menjelang peringatan Hari Kartini pada 21 April 2025.

Kedatangan keempat siswi, yaitu Rahmaningrum Hidayah, Refany Swassyari Azzahra, Sagita Ayu Novianti dan Widia Irawati, disambut dengan ramah oleh petugas yang bersih-bersih di sekitar makam ageng.

“Alhamdulillah, ini pertama kali, kami ziarah ke makam Pahlawan Nasional RA. Kartini. Kegiatan ziarah kami lakukan sebagai wujud penghormatan kepada RA Kartini yang telah berjasa besar dalam perjuangan emansipasi wanita di Indonesia. Sekaligus penyemangat kami agar tetap terus berkarya meneruskan cita-cita beliau,” kata Hidayah, yang diamini tiga temannya.

Selain ziarah, mereka juga membuat dokumentasi video dan foto untuk karya PKL sesuai dengan jurusannya.

“Ini berkah bagi kami, berziarah sekaligus buat dokumentasi. Selama ini kami hanya membaca sejarah RA Kartini, dan sekarang terkabul bisa ziarah ke makam beliau, ini karena kami PKL di Dinas Kominfo Blora, dan menjadi kenangan yang nanti tidak akan saya lupakan,” kata Widia Irawati.

Sementara itu Teguh, pembimbing siswa PKL Dinas Kominfo Blora menyampaikan, siswa tersebut akan selesai PKL pada 17 April 2025.

Kebetulan di 21 April 2025 ada momentum bersejerah yakni peringatan Hari Kartini, sehingga mereka diedukasi lebih awal untuk ziarah dan membat konten di makam RA Kartini.

“Ini bagian edukasi, ziarah ke makam RA Kartini dapat menjadi momentum untuk mengenang perjuangannya dan meneladani nilai-nilai yang diamanatkannya. Nilai-nilai tersebut dapat menginspirasi untuk memperjuangkan kesetaraan gender dan kemajuan bangsa,” jelasnya.

Untuk diketahui, Tanggal 21 April diperingati setiap tahunnya, sebagai Hari Kartini.

Keputusan tanggal 21 April sebagai Hari Kartini dikeluarkan oleh Presiden Soekarno melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964, yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini, tanggal 21 April.

Raden Ajeng (atau lebih disebut Raden Ayu) Kartini dikenal dengan surat-surat kirimannya tentang emansipasi perempuan dan semangat maju dengan pendidikan.

Kartini lahir pada 21 April 1879 atau 28 Rabiul Akhir tahun Jawa 1808 di Mayong afdeling Japara (kini Jepara).

RA Kartini berasal dari keluarga priyayi atau bangsawan Jawa di Jepara. Ayahnya, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat adalah bupati di sana.

RA Kartini masuk sekolah dasar eropa atau Europesche Lagere School (ELS) pada 1885.

Anak pribumi yang diizinkan mengikuti pendidikan bersama anak-anak bangsa Eropa dan Belanda-Indo di ELS hanya anak pejabat tinggi pemerintah.

Meskipun dari kalangan bangsawan, anak perempuan masuk sekolah dan keluar rumah merupakan langkah yang bertentangan dengan tradisi saat itu, seperti dikutip dari Pendidikan Feminis R.A. Kartini oleh Irma Nailul Muna.

Sekolah di ELS, Kartini belajar dengan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Kemampuan bahasanya makin kuat karena rajin membaca buku dan koran berbahasa Belanda.

Kartini juga belajar bercakap dengan bahasa Belanda sambil bermain dan menerima tamu bangsa Belanda yang datang ke Jepara.

Siswa pribumi di ELS sering mendapatkan perlakuan diskriminatif seperti pandangan rendah dari sesama siswa dan guru dari Belanda.

Perlakuan tersebut memacu semangatnya terus berprestasi agar bisa mengalahkan siswa lain.

Meskipun mendapat perlakuan diskriminatif dari siswa dan guru dari Belanda, Kartini justru semangat memperoleh pengetahuan lebih banyak dan berprestasi.

Dikutip dari buku Sisi Lain Kartini, ia menceritakan dirinya tengah belajar pemikiran pejuang wanita dari India Pundita Ramambai pada temannya, Nyonya Nelly Van Kol.

“Tentang putri Hindia yang gagah berani ini telah banyak kami dengar. Saya masih bersekolah, ketika pertama kali mendengar tentang perempuan yang berani itu. Aduhai? Saya masih ingat betul: saya masih sangat muda, anak berumur 10 atau 11 tahun, ketika dengan semangat menyala-nyala saya membaca dia di surat kabar. Saya gemetar karena gembira : jadi bukan hanya untuk perempuan berkulit putih saja ada kemungkinan untuk merebut kehidupan bebas bagi dirinya! Perempuan Hindia berkulit hitam, jika bisa membebaskan, memerdekakan diri.”

Namun setelah lulus ELS, Kartini dilarang ayahnya melanjutkan pendidikan di HBS Semarang. Saat itu, tradisi bangsawan mewajibkan anak usia 12 tahun yang sudah dianggap dewasa untuk dipingit.

Saat dipingit, anak perempuan tidak boleh keluar rumah, termasuk ke sekolah, karena harus menyiapkan diri untuk menikah dan menjadi ibu rumah tangga.

Karena itu, Kartini juga tidak mendapat izin untuk lanjut sekolah di Belanda seperti tawaran orangtua Letsy, temannya.

Ia lalu dipaksa belajar aturan putri bangsawan, seperti berbicara dengan suara halus dan lirih, berjalan setapak dan menundukkan kepala jika anggota keluarga yang lebih tua lewat.

Kartini yang dipingit mengesampingkan kekecewaannya tidak lanjut sekolah dengan membaca dan mencatat.

Sejumlah catatannya termasuk pandangan hidup yang bisa dicontoh, jiwa dan pemikiran besar, dan perilaku yang baik.

Ia juga berkirim surat pada sahabatnya untuk mempelajari pemikiran baru dan menyampaikan keinginannya tentang dunia pendidikan di daerahnya.

Terjemahan surat-surat Kartini kelak membuka bahwa dirinya punya berbagai gagasan untuk mengangkat derajat kaum perempuan bumiputera di dunia internasional lewat pendidikan.

Kartini pun menikah pada 8 November 1903 dengan Bupati Rembang. Kesehatannya melemah setelah melahirkan anaknya pada 13 September 1903. Pada 17 September 1903, Kartini wafat dalam usia 25 tahun.

Kendati tak melanjutkan pendidikan seperti harapan semula, sebelum wafat, Kartini mencoba berbagai langkah agar dirinya dan perempuan di sekitar bisa maju dengan pendidikan.

Kartini dikenal dengan surat-suratnya dengan sejumlah orang di Belanda. Sejumlah surat di antaranya mengungkapkan bagaimana Kartini ingin memperluas pengetahuannya tentang berbagai pemikiran.

Salah satu suratnya diterjemahkan Armijn Pane dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang.

“Kami, gadis-gadis masih terantai kepada adat istiadat lama, hanya sedikitlah memperoleh bahagia dari kemajian pengajaran itu. Kami anak perempuan pergi belajar ke sekolah, keluar rumah tiap-tiap hari, demikian itu saja sudah dikatakan amat melanggar adat.” (Surat kepada Nona Zeehandelaar, Jepara, 25 Mei 1899).

Saya tiada tahu berbahasa Prancis, Inggris, dan Jerman, sayang! –Adat sekali-kali tiada mengizinkan kami anak gadis tahu berbahasa asing banyak-banyak–kami tahu berbahasa Belanda saja, sudah melampaui garis namanya.

Dengan seluruh jiwa saya, saya ingin pandai berbahasa yang lain-lain itu, bukan karena ingin akan pandai bercakap-cakap dalam bahasa itu, melainkan supaya dapat membaca buah pikiran penulis-penulis bangsa asing itu.” (Surat kepada Nona Zeehandelaar, Jepara, 25 Mei 1899).

Surat-surat Kartini kelak diterjemahkan dalam berbagai bahasa untuk pembaca di Eropa, Asia, hingga Amerika lewat buku kumpulan surat Kartini oleh J.H. Abendanon, Door Duisternis tot Licht.

Gagasan Kartini untuk membangkitkan pengetahuan dan pendidikan perempuan juga ia terapkan sehari-hari.

Ia mempelajari dan memahami pemikiran emansipasi yang berkembang di negara-negara lain.

Berangkat dari pengetahuannya, ia kelak bercita-cita mendirikan sekolah bagi perempuan dan menjadi guru.

Kartini pernah berupaya mencari beasiswa dengan mengirim surat pada sahabatnya Nyonya Ovink Soer.

Peluang mendapatkan pendidikan sedikit terbuka saat pemerintah Belanda mengumumkan politik kolonial baru pada September 1901.

Kelak Ratu Wilhelmina dalam sidang parlemen memproklamasikan politik etis yang mengharuskan pemerintah untuk menyejahterakan masyarakat jajahan di Hindia Belanda.

Gagasan emansipasi dan cita-cita Kartini untuk maju dengan pendidikan mulai jadi perhatian pemerintah Hindia Belanda.

Pada 8 Agustus, Direktur Departemen Pendidikan, Kerajinan, dan Agama J.H. Abendanon mengunjungi Jepara.

Ia menyampaikan, ada rencana pendirian sekolah asrama atau kostchool untuk gadis bangsawan.

Kartini mendukung rencana ini dengan harapan perempuan menyadari hak mereka selama ini terampas.

Abendanon terkesan dengan penjelasan Kartini yang menyarankan pembukaan pendidikan kejuruan agar perempuan terampil dan mandiri, tidak bergantung kepada laki-laki.

Tetapi, sebagian besar bupati menolak surat edaran Abendanon tentang kostschool dengan alasan aturan adat bangsawan tidak mengizinkan anak perempuan dididik di luar.

Kelak saat diundang ke Batavia oleh Abendanon, Kartini ditawari Direktur HBS Batavia Nona Van Loon untuk melanjutkan studi di sekolahnya.

Saat itu, ayah Kartini juga mengizinkannya untuk melanjutkan studi menjadi guru.

Kendati pendirian kotschol terhambat, keinginan Kartini atas pendidikan demi menyamakan derajat laki-laki dan perempuan sampai di telinga anggota parlemen Belanda, Van Kol.

Ia lalu menawari Kartini untuk sekolah di Belanda bersama adiknya Roekmini dengan biaya pemerintah.
Tetapi atas bujukan dan tekanan orang bumiputra dan keluarga Abendanon, ia urung ke Belanda.

Kartini dan adiknya lalu memutuskan membuka sekolah untuk anak-anak gadis pada Juni 1903.

Sekolah Kartini menekankan pembinaan budi pekerti dan karakter anak sehingga suasana sekolah diciptakan seperti suasana di rumah.

Sekolah berlokasi di pendopo kabupaten. Kegiatan belajar mengajar berlangsung empat hari seminggu, Senin-Kamis. Murid belajar 4,5 jam sehari, pukul 8 pagi-12.30 siang.

Kartini banyak menghabiskan waktu memikirkan pengelolaan sekolah barunya karena minat masyarakat yang ingin menyekolahkan anaknya bertambah.

Di tengah masa tersebut, ia memutuskan menikah dengan Bupati Rembang Raden Adipati Djojo Adiningrat pada 8 November 1903.

Kartini juga mengalihkan beasiswa studi ke Batavia yang ia dan Roekmini dapat tidak lama setelahnya ke orang lain.

Surat lamaran suaminya diterima Kartini dengan syarat sang Bupati Rembang menyetujui dan mendukung gagasan dan cita-cita Kartini.

Kartini juga harus diizinkan membuka sekolah dan mengajar putri-putri bangsawan di Rembang.

Sekolah yang sudah dirintis Kartini terkendala setelah ia wafat. Keluarga Abendanon dan Nyonya Van Deventer kelak membangun beberapa sekolah nama Sekolah Kartini.

Seiring waktu, sekolah Kartini berkembang ke kota-kota lain, dengan program pendidikan yang mendukung keterampilan siswa. (eko/redaksi)

Read Entire Article
Kabar Jateng | InewS | | |