Ahmad Safrudin
Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB)
SETIAP tahun, setiap rezim pemerintahan menghadapi situasi sulit yang dibuat oleh rezim pemerintahan itu sendiri, yaitu beban pengadaan BBM. Situasi sulit ini tiada lain akibat pengambilan keputusan kebijakan publik yang tidak transparan, tidak accountable dan bias pada kepentingan pribadi/golongan.
Keputusan kebijakan publik yang dimaksudkan adalah penetapan harga BBM dan rantai pasok pengadaan BBM, terutama dalam menutup kekurangan pasokan BBM produksi dalam negeri dengan cara impor. Kesulitan ini berawal dari penetapan kebijakan harga yang inkonstitusional, memicu ketergantungan Indonesia pada BBM impor. Ketergantungan pada BBM impor ini yang dikelola dengan baik oleh oil trader sejak 2005 hingga sekarang.
Dominasi oil trader ini semakin gamblang dengan proses hukum yang sedang ditangani oleh Kejaksaan Agung atas pimpinan PT Pertamina Patra Niaga, beserta para rekanan dan vendornya yang diekspose 24 Februari 2025.
Kebijakan Harga BBM yang Inkonstitusional
Sesuai regulasi, pemerintah menugaskan Pertamina untuk mengadakan dan mendistribusikan BBM ke seluruh wilayah RI dengan patokan harga internasional (boarder price method) yaitu MOPS (Mean of Oil Platts Singapore). Pada praktiknya, dengan harga internasional tetapi Pertamina mendistribusikan BBM dengan kualitas lebih rendah dari BBM yang dijadikan sebagai patokan penetapan harga.
Contoh kasusnya adalah distribusi Pertalite 90 yang penetapan harganya berpatokan pada harga Mogas92, dikenal sebagai bensin berangka oktan tinggi 92 atau dikenal sebagai HOMC. Tentu ini menjadi manipulatif ketika yang didistribusikan adalah bensin dengan angka oktan 90, alias 2 level di bawah angka oktan bensin yang dijadikan sebagai patokan penetapan harga tersebut.
Selain boarder price method, terdapat juga metode harga pokok penjualan (HPP) yaitu perhitungan nilai rata-rata biaya produksi BBM. HPP dihitung dengan cara menjumlah keseluruhan komponen biaya pada produksi BBM, biaya angkut dan distribusi BBM hingga ke konsumen. Apabila BBM diperoleh dari impor, maka HPP dihitung berdasarkan harga perolehan di pasar minyak regional ditambah biaya pengiriman dan distribusi hingga ke konsumen.
Metode berikutnya adalah metode harga pemerintah, yaitu harga ditentukan dengan mempertimbangkan kondisi sosial ekonomi masyarakat dalam suatu negara setelah mempertimbangkan HPP BBM. Harga Pemerintah ini bisa jadi lebih rendah daripada HPP ketika pemerintah bermaksud memberikan subsidi BBM kepada rakyat.
Sayangnya yang dipilih bukan metode harga pemerintah sebagaimana dikehendaki oleh konstitusi UUD 1945 Pasal 33, melainkan boarder price method yang menciptakan ketergantungan Indonesia pada BBM impor, di mana hal ini membuka dominasi oil trader untuk mengatur demand, kuantitas, kualitas dan harga BBM impor.
Anomali Harga vs Kualitas BBM Indonesia
Keputusan kebijakan harga BBM ditetapkan dengan tendensi memperoleh simpati rakyat sebagai pemerintahan yang baik dan dermawan dengan menciptakan harga relatif murah; sekalipun dengan kualitas BBM yang tidak memenuhi persyaratan bagi teknologi kendaraan.
Premium 88 (telah dihapus), Pertalite 90, Bio-solar dan Dexlite51 adalah jenis BBM yang diproduksi dengan spec di bawah standar bagi kebutuhan teknologi kendaraan yang berlaku di Indonesia, dengan maksud menina-bobokan rakyat bahwa pemerintah mampu menyediakan BBM dengan harga murah. Tentu saja kendaraan bermotor yang diisi keempat jenis BBM ini akan rusak selain menimbulan emisi dan pemborosan BBM yang tinggi.
Menggunakan data 2023, HPP Pertalite 90 (bensin untuk kendaraan Euro1 Standard) adalah Rp12.450/L, di SPBU dipatok Rp10.000/L. Sementara HPP bensin RON 92 dengan Sulfur content max 50 ppm (bensin untuk kendaraan Euro4 Standard) yang didistribusikan di Malaysia adalah Rp9.866/L dengan harga SPBU Rp6.804/L.
HPP Dexlite51 (solar yang hanya memenuhi persyaratan untuk lendaraan berstandar Euro1) adalah Rp14.240/L dengan harga SPBU Rp17.800/L. Harga ini mahal, mengingat Malaysia mampu mengedarkan Solar51 dengan sulfur content max 50 ppm (solar untuk kendaraan berstandard Euro 4) dengan HPP Rp10.347/L dengan harga SPBU Rp7.136/L.
Demikian halnya Australia mampu mengedarkan Bensin RON 95 sulfur content max 10 ppm (bensin untuk kendaraan berstandar Euro6) dengan HPP Rp9.093/L dengan harga di SPBU Rp16.422/L. Dan HPP Solar53 dengan sulfur content max 10 ppm (diesel fuel/solar untuk kendaraan berstandard Euro6) adalah Rp12.548/L, lebih murah daripada HPP Dexlite51.
Terlihat bahwa pemerintah Malaysia mampu memerankan the last resort, penyangga harga BBM; tempat untuk bertumpu bagi seluruh warga negara Malaysia ketika menghadapi krisis BBM. Demikian halnya dengan Australia yang mempu menciptakan demokratisasi pasar minyak/BBM sehingga harga BBM senantiasa terjangkau bagi masyarakat.
Di Malaysia, fluktuasi harga crudes oil memengaruhi harga BBM secara langsung dengan posisi negara sebagai penjamin akhir (the last resort), yaitu berupa subsidi ketika harga crudes oil terlampau tinggi guna mencegah terjadinya surplus producent yang berlebihan. Sebaliknya pemerintah mengenakan pajak dan cukai ketika harga crudes oil normal dan atau di bawah normal. Dana dari pajak/cukai BBM ini dialokasikan untuk menjaga stabilitas ketahanan energi.
Sementara di Australia, sekalipun fluktuasi harga crudes oil juga memengaruhi harga BBM secara langsung, namun langkah yang ditempuh pemerintah adalah menerapkan pajak dan cukai dengan besaran yang relatif sama dan tidak mengenal pemberian subsidi. Pemerintah Australia berperan sebagai wasit yang mengawasi sehingga HPP BBM dalam tingkat kewajaran di bawah kendali mekanisme pasar yang demokratis, sehingga setinggi apa pun fluktuasi harga crudes oil, maka HPP dan harga SPBU BBM tetap terjangkau.
Di Indonesia, mekanisme pasar demokratis tidak terjadi, begitu pun peran pemerintah sebagai the last resort dalam pengelolaan BBM tidak terwujud. Yang terjadi justru surplus producent yang melampaui kewajaran secara terus menerus, mengingat harga BBM ditentukan berdasarkan patokan harga BBM dengan spesifikasi yang lebih tinggi yang diperdagangkan di Bursa Minyak Singapura (Platts Singapore). Inilah penyimpangan HPP (terlalu tinggi) atas HPP yang seharusnya.
Spesifikasi BBM
BBM yang dipasarkan di Indonesia harus memenuhi persyaratan teknologi kendaraan berstandar Euro 2/II mulai 1 Januari 2007 dan bahkan untuk bensin harus sesuai dengan standar Euro 3 mulai 1 Agustus 2013 serta sesuai standar Euro 4/IV mulai 1 Oktober 2018.
Jika tidak maka bertentangan dengan UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup terkait regulasi standar emisi kendaraan, di mana mulai 1 Januari 2007 semua kendaraan bermotor yang dipasarkan di Indonesia harus berstandar Euro 2, sepeda motor mulai 1 Agustus 2013 harus berstandar Euro 3, dan kendaraan roda empat mulai 1 Oktober 2018 harus berstandar Euro 4/IV.
Konsekuensi dari penerapan standar Euro maka bahan bakarnya harus memenuhi persyaratan mesin kendaraan berstandard Euro terutama angka oktan, angka cetane, kandungan Sulfur, kandungan ash forming, olefin, aromatic, benzene, dll.
Sebagian besar parameter specifikasi BBM yang ditetapkan Direktur Jenderal Migas tidak memenuhi kebutuhan teknologi mesin kendaraan berstandar Euro 2, 3 dan 4. Sehingga menyesatkan dan berpotensi missed-fuelling pada kendaraannya telah berstandar Euro 2, 3 dan 4. Penyesatan ini berpotensi melanggar UU No 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen.