Eyang dan Idul Fitri

3 days ago 10

*Oleh: Achmad Hilal Madjdi

Dalam tradisi anak manusia sepanjang masa, curahan kasih sayang Eyang, utamanya Eyang Akung tercatat dalam dokumen hati sang cucu. Bahkan pada masa modern saat ini, dokumentasi itu diwujudkan dalam video-video pendek via YouTube, IG atau lainnya. Ternyata sang cucu lebih memilih Eyang Akung dengan larian dan lompatan kecilnya menyambut Eyang Akung dengan lengkingan rindu yang kadang membuat Eyang Uti tertawa geli cemburu.

Sebagai Eyang Akung, memberi sesuatu kepada cucu sebagai  ekspresi cinta dan kasih sayang sudah biasa kita lakukan. Bahkan hampir tiap hari. Entah mainan,.makanan, angpau atau lainnya. Sukacita cucu menerima penberian Eyang Akung lantas menjelma menjadi energi kegembiraan Eyang Akung yang tiada terkira. Begitu juga dengan Eyang Uti.

Angpau Eyang menyongsong Idul Fitri

Idul Fitri di nusantara identik dengan silaturahim yang seolah menjadi ritual wajib. Dari sinilah kemudian lahir tradisi mudik lebaran yang juga seolah menjadi ritual wajib bagi para perantau. Sungguh serasa kurang afdhol  dan berhutang besar kala Idul Fitri seorang perantau tak bisa pulang kampung.  Serasa ada yang hilang dan berkurang hidupnya. Namun sesungguhnya yang hilang dan berkurang itu adalah silaturahim itu sendiri.

Bagi anak-anak, tidak diajak mudik lebaran oleh orang tuanya identik dengan berkurangnya kegembiraan kulineran dan  finansial. Terutama sekali bagi mereka yang masih mempunyai Eyang. Dalam benak anak-anak, Eyangnya pasti telah menyiapkan makanan dan jajan special yang memang telah mereka tunggu sejak puasa Ramadlan dimulai.

Sebagai Eyang, saya menghayati kebahagiaan sebagai cucu di bulan Ramadlan akhir atau Syawal bukan karena masa kecil ada kenangan seperti itu. Kedua Eyang kakung saya dari Bapak dan Ibu sudah tiada ketika saya belum lahir. Eyang Uti dari Ibu juga sudah berpulang bahkan di masa  ibu saya masih kanak-kanak.

Penghayatan saya atas kebahagiaan sebagai cucu menyeruak begitu saja ketika saya memberi angpau kepada cucu. Dengan melonjak gembira dia berteriak manja ceria, “Utii, aku dapat angpau dari Eyang Akung… Dari Uti mana ? “

Desir hati

Mendengar teriakan cucunda Eyang Uti tertawa sambil menjawab nanti , tunggu sebentar. Namun tidak dengan saya karena stimulus yang masuk ke alam bawah sadar juatru membawa saya pada suatu kegembiraan satu frekwensi dengan cucu. Saya menjadi cucu yang merasai dan menjiwai kebahagiaan menerima angpau dari Eyang. Betapa saya seperti sedang “trance” dengan suasana jiwa  yang sesungguhnya bahwa angpau Eyang tidak hanya sebatas angpau itu sendiri.

Desir hati itu kemudian membawa dimensi emosional yang membangun sensitivitas perasaan. Tak terasa bulir -bulir haru memenuhi kelopak mata. Ah, bukankah tak hanya ini kasih sayang itu tercurahkan ? Bukankah saya ini Eyang, bukan cucu ? Mengapa saya bagai seorang cucu yang merasai mendapat angpau dari Eyang ?

Rupanya memang benar apa yang dikatakan para Ustads, jika kamu kamu berbuat baik dan membahagiakan orang lain, sesungguhnya engkau membahagiakan diri sendiri. Selamat Idul Fitri 1446 H,.

*Penulis adalah Guru Besar pada Magister Pendidikan Bahasa Inggris (MPBI) Universitas Muria Kudus (UMK)

Read Entire Article
Kabar Jateng | InewS | | |