*Oleh Achmad Hilal Madjdi
Konon Kudus kulon, suatu kawasan sebelah barat jembatan Kaligelis atau Kudus belahan barat utamanya sekitar Menara Kudus dikenal sebagai kawasan pelit. Penghuninya tidak begitu suka berbagi rejeki. Entah ini mitos, legenda, cerita lisan, tradisi atau realita tak seorangpun di Kudus kulon bisa menjawab dengan pasti. Apalagi referensi, buku ataupun jurnal.
Seingat saya yang sejak kecil sampai dewasa hidup di Kudus kulon (asli wong Kudus kulon), kebersamaan dan kekerabatan masyarakat Kudus kulon saat itu tidak bisa identik dengan perilaku pelit seperti yang dituturkan. Misalnya, setiap muludan (maulud nabi Muhammad SAW), masyarakat Kudus kulon saling berbagi “golok-golok mentok”- nasi kuning lengkap dengan lauk pauknya yang dikemas dalam suatu wadah terbuat dari anyaman Bambu dihias kertas warna-warni. Memang tak seberapa banyak. Namun sangat dinanti dan disukai anak-anak. Biasanya dapat beberapa “golok-golok mentok” karena ada beberapa keluarga yang berbagi.
Masih di Muludan, pada acara “berjanjenan” (pembacaan kita albarjanji) anak-anak datang ke masjid dengan membawa makanan dari rumah (biasanya nasi satu nampan lengkap dengan lauk pauknya) ke masjid. Selesai acara makanan -makanan itu dibagi secara acak.
Saat akhir Ramadhan, para aghniya’ Kudus kulon juga berbagi zakat mal. Jadi sepertinya atribut “pelit” kawasan Kudus kulon jauh panggang dari api.
Cangkir dan Toples Mini
Mungkin dua perangkat makanan dan minuman ini (cangkir dan toples mini) yang memantik lahirnya sebutan Kudus kulon pelit. Dua perangkat mini ini memang tersajikan di meja tamu rumah-runah di kawasan Kudus kulon di masa lalu (seingat saya saat saya duduk di bangku Sekolah Dasar sampai Sekolah Mengah Pertama/ sebelum tahun 1980-an). Biasanya saat Idul Fitri selama sampai kupatan atau bada kupat menurut orang Kudus kulon.
Sebagai gambaran, toples mini itu memang mini namun dapat diisi kue-kue lebaran. Menjadi unik karena untuk dapat mengambil kue di dalamnya, tamu hanya bisa menggunakan dua jari tangannya sehingga yang terambil pasti satu kue saja. Toples ini benar-benar mini, karena bergaris tengah dan tinggi tak lebih dari sepuluh sentimeter. Sementara cangkir mininya hanya bisa diisi seteguk-dua teguk air minum. Seingat saya tidak semua rumah di kawasan Kudus kulon mempunyai dua wadah antik itu. Artinya rumah lain banyak juga yang menyajikan kue dan minuman lebaran dalam toples dan gelas lebih besar.
Menariknya perangkat-perangkat antik tersebut dikeluarkan hanya saat Idul Fitri. Selepas Idul Fitri dua peraralatan itu kembali disimpan di almari. Tamu-tamu di luar masa Idul Fitri disuguhi minuman dalam gelas besar. Jika ada makanan, pun disajikan dalam wadah yang lebih besar.
Lalu adakah nilai- nilai tetentu yang hendak diasuhkan kepada masyarakat dalam kemasan toples dan cangkir mini di atas? Beberapa sesepuh yang masih bisa diajak diskusi menuturkan, bahwa tradisi masyarakat Kudus kulon dalam setiap Idul Fitri adalah bersilaturahim dari rumah ke rumah, baik ke tetangga maupun sanak famili. Sering anjangsana ini dilakukan dalam satu putaran masa sehingga langsung tertunaikan dalam waktu yang singkat.
Di sinilah awal mula tersajikannya kue dalam toples mini dan minuman dalam cangkir mini. Para tetamu hanya singgah dalam waktu singkat dan tak sempat makan/ minum apa yang disuguhkan. Menyediakan kue lebaran dalam jumlah banyak dan ditaruh dalam toples besar akan sia-sia, suatu pemborosan. Jika harus minum, tak lebih dari seteguk dua teguk. Jelas penyajian minuman dalam gelas besar akan mubadzir.
Tampaknya sajian kue dalam toples mini dan minuman dalam cangkir kecil bukan ganbaran betapa pelitnya masyarakat Kudus kulon. Apalagi tidak semua rumah di kawasan Kudus kulon menyajikan kue dan minuman lebaran dengan cara yang sama. Ada pesan moral atau nilai penting yang dituturkan, bahwa perilaku mubadzir terhadap makanan dan minuman adalah merugikan ummat manusia. Perikaku mubadzir adalah adalah teman syaithon.
Selain itu, sebagai masyarakat yang berwirausaha, belanja barang, makanan dan minumanpun harus dikelola dalam koridor manajemen bisnis, efisien dan efektif.
Wallahu’alam biish showab.
*Penulis adalah Guru Besar pada Magister Pendidikan Bahasa Inggris (MPBI) Universitas Muria Kudus (UMK)