Pati, Infojateng.id – Petani singkong di Kabupaten Pati semakin terjepit akibat anjloknya harga jual hasil panen. Ironisnya, program Sistem Resi Gudang (SRG) yang diharapkan mampu menjadi solusi belum juga direalisasikan. Dua bank pelaksana, yakni Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan Bank Jateng (BPD), dinilai lamban menjalankan program strategis pemerintah yang berkaitan dengan ketahanan pangan tersebut.
Ketua Asosiasi Hasil Bumi dan Laut Nusantara (Hasbulan), Mashuri Cahyadi atau akrab disapa Adie, menilai tindak lanjut dari pihak bank pendukung sangat lambat, sehingga menambah penderitaan para petani singkong di Pati.
“Bank pendukung, terutama Bank Jateng, sangat lambat dalam merespons program pemerintah ini. Sampai detik ini belum ada realisasi. Mungkin para direkturnya sedang sibuk, tapi kondisi ini membuat petani singkong makin menderita,” ujar Adie, Senin (13/10/2025).
Menurutnya, seluruh kesiapan teknis dan administrasi dari pihak petani maupun gudang telah terpenuhi. Bahkan, jaminan keamanan komoditas sudah dijamin penuh oleh perusahaan asuransi.
“Asuransi pelaksanaan sudah siap, resi gudang juga sudah ada. Jadi BRI dan Bank Jateng tidak punya alasan untuk khawatir. Komoditas yang dijaminkan pasti aman karena 100 persen ditanggung PT Asuransi Asei Indonesia,” tegasnya.
Lebih lanjut, Adie menyebut pemerintah pusat melalui Bappebti Kementerian Perdagangan (Kemendag) telah menetapkan tapioka sebagai salah satu komoditas resi gudang sejak awal 2025. Ia pun mendesak agar pemerintah, khususnya Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa dan Gubernur Jawa Tengah Ahmad Luthfi, segera turun tangan mempercepat realisasi pembiayaan SRG.
“Kami mohon dukungan Pak Menkeu dan Pak Gubernur agar pembiayaan SRG untuk tapioka segera dijalankan. Harga singkong kini hanya Rp750 per kilogram. Ini sudah darurat—petani terus merugi,” ungkapnya.
Harga Singkong Anjlok, Petani Rugi Besar
Sementara itu, petani di Desa Ngemplak, Kecamatan Margoyoso, Ahmad Rifa’i, menyampaikan bahwa harga singkong kini hanya berkisar Rp1.050 per kilogram. Namun, setelah dipotong berat 15 persen, nilai riil yang diterima petani turun hingga Rp750 per kilogram.
“Panen tidak bisa ditunda, jadi mau tidak mau harus dijual meski harga sangat rendah. Kondisi ini jelas memukul ekonomi petani,” keluhnya.
Padahal, program SRG diharapkan menjadi instrumen konkret untuk menstabilkan harga dan menjaga daya beli petani di tengah panen raya.
Di sisi lain, pelaksanaan SRG justru dinilai berjalan lambat di sejumlah daerah, termasuk Pati. Padahal, ada delapan komoditas yang sudah masuk dalam daftar SRG, yaitu tapioka, ikan, garam, jagung, kopi, gabah, beras, dan gula.
Berbeda dengan di Kabupaten Temanggung, di mana pembiayaan SRG untuk komoditas tembakau disebut lebih responsif. Namun, Mashuri menegaskan bahwa adanya beberapa oknum bermasalah tidak boleh menjadi alasan untuk menghambat realisasi program di daerah lain. “Kalau di Temanggung bisa jalan, mestinya di Pati juga bisa. Ini tinggal kemauan dari pihak bank pelaksana,” tutupnya. (one/redaksi)