Oleh: A Hilal Madjdi*
Dunia, tak ketinggalan Indonesia saat ini tengah dilanda suatu dinamika medsos (jika tidak boleh disebut kegaduhan) dengan berbagai variannya. Dinamika itu menyangkut hampir semua hajat hidup manusia, mulai dari kebutuhan sandang, pangan, tempat tinggal, hiburan, agama, politik, ekonomi, hukum, kesehatan atau apapun yang melekat pada kehidupan manusia. Semua hal yang berkaitan dengan kehidupan manusia menjadi komoditas, bukan saja produk yang diperlukan manusia terkait dengan kebutuhan hidupmya, tapi tentang semuanya, termasuk tentang manusia itu sendiri.
Tentu tidak semua konten benar dan tepat sehingga mengundang pro dan kontra serta menghasilkan asumsi, persepsi atau anggapan yang kemudian melahirkan interpretasi yang meskipun terkadanng kontradiktif, tapi sebenarnya bisa dilihat sebagai suatu hal yang lumrah dalam setiap interaksi.
Sebagai mahluk yang selalu berinteraksi dan membutuhkan eksistensi diri sekaligus kolaborasi dengan pihak lain, manusia memang memerlukan media komunikasi dan interaksi. Media komunikasi dan interaksi itu tentu saja mengiringi perjalanan atau kemajuan perdaban manusia itu. Artinya, semakin maju dan beradab, dipastikan media yang digunakan dan dikembangkan semakin maju juga.
Pada era sekarang, media itu sudah sangat jauh berlari dibanding masa-masa sebelumnya meskipun tidak semua media masa lalu ditinggalkan. Sebagai mahluk sosial, manusia juga sangat adaptif dan menerima perkembangan media komunikasi itu secara terbuka. Di era saat ini, media komunikasi berbasis digital dan internet lebih cepat diterima dan digunakan, dikenal sebagai Media Sosial atau sering disebut Medsos.
Namun semakin ke kini, medsos bukan lagi sekedar digunakan manusia, tapi bahkan boleh dibilang ”menghantam” manusia itu sendiri. Gelombang hantaman medsos, baik yang berpretensi negatif maupun positif dan yang tidak berpretensi apapun boleh dikatakan menggila, lebih dari sekedar dahsyat. Arus menggilanya bahkan menurut hemat penulis sampai mempengaruhi suatu kondisi publik yang boleh dikatakan di luar kewajaran.
Efek dari hantaman itu adalah kecanduan, di mana publik seperti tidak bisa menjalani kehidupan normal jika tanpa terhubung dengan medsos; kerancuan berpikir, di mana arah dan norma berpikir benar dan salah saling berbaur; kegalauan melihat dan menyikapi keadaan karena hampir semua informasi terkemas benar adanya serta kebingungan untuk berpikir, bersikap dan bertindak karena ketidak jelasan informasi yang menisbikan batas-batas keterpercayaannya.
Beranggapan, Metoda Berpikir yang Sesat
Beranggapan atau anggapaan merupakan suatu metoda berpikir yang tidak selalu tepat karena tidak didasarkan pada metode yang sistematis dan logis. Seseorang yang membaca atau menyaksikan suatu tayangan di medos bisa saja tidak menganalisis tayangan itu dengan arif dan objektif sehingga kemudian menganggap apa yang disimaknya itu benar. Padahal, sebagai sebuah media penyebar informasi yang luar biasa masif saat ini, medsos belum tentu memberikan kejelasan informasi yang tersebar secara luas.
Ketidakjelasan informasi nampaknya memang menjadi salah satu karakter dinamika mendsos era modern yang secara substansial bermakna mengajak para pembaca (netizen) untuk secara kritis menyimak informasi yang tersajikan dengan frekuensi dan variasi yang sangat tinggi itu. Menyimak secara kritis merupakan aktivitas berpikir kritis yang sesungguhnya memiliki manfaat besar bagi kehidupan manusia.
Manfaat pertama terkait dengan terbangunnya kemampuan untuk melihat masalah dari berbagai perspektif, sehingga mampu menghargai sudut pandang orang lain dan menghindari salah persepsi. Dari sini akan muncul suasana kejiwaan yang ”adem” dan meneduhkan, yang dalam bahasa jawa disebut ”tepo seliro”, dimaknai tenggang rasa atau empati.
Manfaat yang kedua atas kemampuan berpikir kritis sering dihubungkan dengan kemampuan-kemampuan untuk mengembangkan komunikasi yang lebih efektif, mampu menyusun argumen jelas dan mendengarkan pendapat orang lain secara konstruktif.
Jika kemampuan ini diasah dengan baik, fenomena lahirnya ujaran-ujaran nir-etika dengan diksi-diksi yang kurang bagus tentu tidak akan pernah kita baca atau dengar melalui medos saat ini. Kemampuan yang lahir dari kemanfaatan berpikir kritis dalam berkomunikasi efektif tentu saja termasuk kejujuran dan kebenaran konten-konten medsos, kemaslahatan serta fungsi kemanusiaan atas konten yang disebarkan, dan sebagainya. Dalam konteks ini, kemampuan mengevaluasi informasi secara kritis dan memilih sumber terpercaya dalam aktivitas bermedsos seharusnya sekaligus melakukan upaya untuk melindungi dari penipuan dan manipulasi informasi.
Yang ketiga, berpikir kritis akan menghasilkan pengambilan keputusan yang lebih baik dan rasional karena berdasarkan analisis bukti dan fakta. Dalam suatu pemberitaan, data dan fakta sebenarnya kunci pokok yang tidak boleh lepas dalam setiap investigasi. Apalagi jika investigasi itu dilakukan dalam suatu aktivitas akademis. Norma, etika dan konvensi-konvensi akademis memang harus dikedepankan, bukan asumsi (anggapan) atau impulsif yang lemah secara metodologis.
Dari paparan di atas jelaslah bahwa anggapan, apalagi yang dipicu oleh suatu tayangan dalam medsos merupakan suatu metoda berpikir dan pengambilan keputusan yang sesat dan menyesatkan. Sebab anggapan semacam itu adalah suatu prasangka atau asumsi yang dianggap benar tanpa melalui proses analisis atau pembuktian secara sistematis. Dalam filsafat ilmu, anggapan sering disebut sebagai dasar berpikir yang belum tentu benar karena belum diuji. Secara relijius, anggapan merupakan kerja hati/perasaan atau pikiran yang belum bisa dinilai atau dihukumi dengan suatu hukum jika belum ditampakkan dalam perkataan atau perbuatan.
Dampak Negatif
Dalam bahasa Indonesia, kata “beranggapan” berarti memiliki pendapat, pandangan, atau persepsi tentang sesuatu. Dengan kata lain, itu berarti seseorang menganggap atau berpendapat tentang sesuatu berdasarkan pemikirannya. Berpendapat atau menganggap sesuatu berdasarkan pemikiran sendiri menunjukkan lemahnya proses lahirnya anggapan itu jika dilihat dari kaidah akademis. Sebab, jika seseorang “beranggapan”, itu berarti dia memiliki pendapat atau perspektif tentang sesuatu yang didasarkan pada pengetahuan, pengalaman, atau persepsi pribadi. Dengan demikian, anggapan dapat menimbulkan berbagai konsekuensi buruk jika anggapan itu bersifat salah atau negatif.
Dampak negatif suatu anggapan, terutama yang disebar melalui medsos yang pertama adalah Krisis kepercayaan diri dan isolasi sosial. Suatu anggapan yang tersebar dan kemudian membangun suatu citra negatif atas sesuatu atau seseorang bisa menyebabkan berkurangnya interaksi sosial dan kehilangan kepercayaan diri. Kungkungan perasaan negatif yang diikuti dengan melemahnya rasa percaya diri sering menggerogoti nilai- nilai yang berkaitan dengan harga diri seseorang atau sekelompok masyarakat.
Konsekuensi buruk yang ke dua sering disebut sebagai munculnya gangguan kesehatan mental ringan yang lahir sebagai akibat dari munculnya anggapan negatif atas sesuatu yang diposting di media sosial. Hal ini biasanya akan memicu atau dapat menyebabkan ketidakpuasan diri, kecemburuan sosial, stres, depresi, dan kecemasan. Gejala- gejala ini sebenarnya secara umum sudah mulai bisa dirasakan atau bahkan disaksikan dengan tanpa sensor apapun. Artinya gejala-gejala itu telah dipertontonkan kepada masyarakat secara terbuka.
Lahirnya gejala-gejala gangguan kesehatan mental ringan ini pda gilirannya dikhawatirkaan akan melahirkan dampak buruk lanjutan, yaitu lahirnya perilaku-perilaku berisiko yang membahayakan jiwa pelaku dan pihak lain serta tindakan-tindakan kriminalitas. Anggapan yang salah tentang narkoba yang terbangun dalam suatu tayangan medsos, misalnya (bahwa narkoba bisa menenangkan jiwa), dapat menyebabkan generasi muda terlibat dalam penyalahgunaan, yang pada gilirannya dapat menyebabkan mereka melakukan perilaku berisiko tinggi terhadap keselamatan jiwa dan atau terlibat dalam tindakan- tindakan kriminal yang biasanya menyertai penyalahgunaan narkoba.
Dampak buruk yang paling membahayakan akibat lahirnya anggapan yang terfasilitasi oleh medsos adalah perpecahan dan retaknya hubungan sosial. Sebab kita sudah sangat paham bahwa persepsi negatif sering menyebabkan konflik dan perpecahan antar kelompok atau individu yang semuanya diawali dari munculnya prasangka dan ketidakpercayaan.
*Penulis adalah Guru Besar pada prodi MPBI-UMK