Pati, Infojateng.id — Penyesuaian tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Pati belakangan ini menimbulkan beragam tanggapan dari masyarakat dan organisasi masyarakat sipil. Menanggapi hal tersebut, pakar hukum publik sekaligus dosen Universitas Safin Pati, Dr. Torang Manurung, SE, MM, SH, MH, menyampaikan pandangannya secara mendalam.
Menurut Dr. Torang, kebijakan penyesuaian tarif PBB-P2 yang diambil oleh Bupati Pati sudah sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ia menyebutkan, kebijakan ini berlandaskan pada Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2024 sebagai payung hukum yang sah.
“Kalau kita tarik lebih jauh, sebenarnya aturan tentang PBB ini sudah ada sejak tahun 2009. Di dalam regulasi itu ditegaskan bahwa evaluasi dan penyesuaian harus dilakukan setiap tiga tahun. Jadi kalau selama 14 tahun tidak pernah disesuaikan, itu justru bisa dikatakan sebagai kelalaian terhadap kewajiban yang diamanatkan undang-undang,” jelasnya.
Ia menambahkan, penyesuaian tarif PBB tidak bisa dilepaskan dari kebutuhan pembangunan yang semakin masif di Kabupaten Pati, seperti pembangunan jalan di wilayah Tayu–Dukuhseti dan proyek strategis seperti Rumah Sakit Daerah Soewondo.
“Pembangunan ini membutuhkan partisipasi aktif dari masyarakat, bukan hanya sebagai penerima manfaat, tapi juga sebagai pihak yang ikut berkontribusi. Salah satu bentuk kontribusinya ya melalui pembayaran PBB. Ini bukan untuk kepentingan pribadi Bupati, tapi untuk kepentingan masyarakat secara luas,” tegasnya.
Respons Terhadap Penolakan dan Posko Pengaduan
Terkait pernyataan keberatan yang disampaikan oleh Ketua DPD Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Kabupaten Pati, Dr. Torang menyampaikan sikap yang terbuka, namun mempertanyakan dasar dari keberatan tersebut.
“Silakan saja menyampaikan keberatan, itu hak politik. Tapi pertanyaannya, apakah pernyataan itu sudah melalui mekanisme internal partai dan berdasarkan kajian mendalam? Karena jika hanya berdasarkan opini pribadi tanpa kajian, ya tentu tidak terlalu substansial dalam pengambilan kebijakan publik,” katanya.
Sementara itu, ia justru mengapresiasi langkah IKA PMII yang membentuk posko pengaduan daring terkait PBB. Menurutnya, posko tersebut bisa menjadi ruang edukasi dan sosialisasi kebijakan kepada masyarakat.
“Saya sangat mengapresiasi inisiatif teman-teman IKA PMII. Harapannya, selain menerima aduan, mereka juga aktif memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa PBB adalah instrumen strategis untuk keadilan sosial, karena hampir semua lapisan masyarakat ikut terlibat membayar, tidak seperti retribusi yang hanya menyasar kelompok tertentu,” paparnya.
Harapan kepada Seluruh Elemen Masyarakat
Di akhir pernyataannya, Dr. Torang mengajak semua elemen masyarakat untuk memberikan dukungan terhadap kebijakan penyesuaian PBB-P2 ini.
“Saya sangat berharap tokoh masyarakat, ulama, pemuda, dan seluruh lapisan masyarakat bisa memberi dukungan, baik dalam bentuk sosialisasi maupun edukasi. Karena pada akhirnya, pembangunan yang didanai oleh pajak ini akan kembali kepada masyarakat sendiri,” ujarnya.
Ia menegaskan, kapasitas fiskal Kabupaten Pati hanya 14 persen, itu kategori rendah. Hal ini menunjukkan kemampuan Kabupaten Pati membangun diri sendiri masih belum mampu. Angka ini bisa juga diartikan bahwa peran masyarakat masih minim dalam ikut serta pembangunan di daerahnya.
PBB sangat memiliki nilai keadilan sosial karena hampir semua lapisan masyarakat berkewajiban bayar PBB, berbeda dgn retribusi lainnya hanya orang-orang tertentu saja yang berkewajiban.
“Ini bukan soal setuju atau tidak setuju pada individu, tapi bagaimana kita sebagai warga negara turut serta dalam bela negara melalui kontribusi terhadap pembangunan,” pungkasnya. (one/redaksi)